Industri Indonesia Dihantam Badai, “Tyson vs Sritex”

Date:

Oleh: Aznil Tan

Bisnisnews.net || Ada seorang petinju terkenal di era 1980-an hingga awal 1990-an bernama Mike Tyson. Ia memiliki fisik yang sangat kuat dan mengesankan untuk ukuran petinju kelas berat di tingkat dunia.

Dengan tinggi sekitar 178 cm dan berat badan antara 99-109 kg, Tyson sangat kokoh dan berotot, dengan bahu lebar, lengan besar, dan otot dada yang tebal. Tubuhnya kompak dan padat, membuatnya sulit dijatuhkan dan memberinya kekuatan luar biasa dalam pukulan.

Gaya bertarung Tyson sangat cepat dan agresif. Ia memiliki leher yang sangat tebal, yang memberikan kestabilan untuk menahan pukulan lawan serta mempermudahnya menunduk atau bergerak cepat untuk menghindari serangan.

Mike Tyson hanya butuh hitungan menit, bahkan detik, untuk mengalahkan lawannya dengan KO. Salah satu contohnya adalah saat ia melawan Michael Spinks pada 1988, yang berakhir hanya dalam 91 detik di ronde pertama. Tyson menumbangkan Spinks, yang saat itu juga seorang juara kelas berat tak terkalahkan.

Mike Tyson adalah gambaran petarung kelas berat tingkat dunia. Jika Tyson dihadapkan pada petinju-petinju Indonesia, mungkin hitungan detik bisa berujung pada kekalahan yang telak. Petinju Indonesia bukanlah lawan tanding sepadan untuk Mike Tyson.

Gambaran situasi ini juga tercermin dalam pertarungan dunia antara pengusaha Indonesia dengan perusahaan-perusahaan raksasa internasional. Dalam konteks ini, pelaku industri Indonesia bisa dengan cepat mengalami keguguran, kolaps, atau pailit.

Indonesia adalah negara yang berpartisipasi dalam perdagangan bebas, baik melalui perjanjian perdagangan global maupun perjanjian perdagangan regional. Indonesia secara resmi menjadi anggota World Trade Organization (WTO) pada 1 Januari 1995.

Perdagangan bebas di tingkat global juga mencakup Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang mulai berlaku pada 1 Januari 2022. RCEP adalah perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan 15 negara berekonomi kuat di Asia-Pasifik, termasuk China, Singapura, dan Australia.

Selain itu, terdapat juga perjanjian perdagangan regional seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), Japan-Indonesia Economic Partnership Agreement (JIEPA), dan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA).

Perjanjian-perjanjian perdagangan ini dapat dianalogikan dengan pertandingan tinju antara Mike Tyson dan petinju Indonesia. Dalam konteks ini, Indonesia akan menghadapi tantangan berat. Meskipun tujuan baik dari perjanjian perdagangan bebas ini adalah untuk meningkatkan integrasi ekonomi, memperkuat rantai pasokan, serta memberikan akses pasar yang lebih baik untuk barang, jasa, dan investasi antar anggota, Indonesia berisiko menjadi “mangsa pasar” bagi negara-negara industri kuat dan tangguh, layaknya Mike Tyson dalam ring tinju.

Impor Bebas, Pelaku Usaha Lemas

Perjanjian perdagangan bebas global telah membuka pintu bagi arus barang-barang asing untuk menyerbu pasar Indonesia. Di antara produk luar, barang-barang asal China secara khusus telah mengalahkan produk dalam negeri baik dari segi harga, model, maupun kualitas.

Akibatnya, produk-produk Indonesia kesulitan bersaing, yang berdampak signifikan terhadap dunia industri domestik. Banyak pabrik yang terpaksa gulung tikar karena produk mereka tak laku di pasar lokal. Ini diperburuk oleh budaya masyarakat Indonesia yang cenderung lebih bangga menggunakan barang-barang impor.

Produk asing kini bebas masuk dan beroperasi di seluruh penjuru Indonesia, baik melalui platform e-commerce maupun perdagangan konvensional seperti pasar, toko, supermarket, dan minimarket. Mulai dari produk pertanian seperti beras, buah-buahan, dan sayur-sayuran, hingga barang-barang hasil industri seperti pakaian jadi, tekstil, tas, sepatu, kosmetik, alat-alat rumah tangga, serta makanan dan minuman siap saji.

Situasi ini mengancam para pelaku usaha, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Produk asing sering kali lebih murah dan lebih mudah diakses, berkat kehadiran platform e-commerce yang mendukung distribusi barang tersebut.

Lebih tragis lagi, pemerintah tampak berpihak pada masuknya produk asing dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024, yang dikeluarkan oleh Menteri Zulkifli Hasan di bawah pemerintahan Jokowi. Permendag ini menimbulkan kecurigaan publik karena memudahkan akses barang impor melalui beberapa langkah penting.

Dalam regulasi tersebut, persyaratan peraturan teknis (Pertek) dihapuskan untuk beberapa komoditas, sehingga proses perizinan impor menjadi lebih cepat dan mudah. Pemerintah juga memberikan relaksasi untuk tujuh kelompok barang, seperti elektronik, alas kaki, pakaian jadi, aksesoris pakaian, tas, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan perbekalan rumah tangga, yang kini hanya memerlukan Laporan Surveyor (LS) tanpa perlu Persetujuan Impor (PI).

Alasan yang disampaikan kepada publik adalah untuk mempercepat distribusi dan mengatasi masalah penumpukan kontainer di pelabuhan. Namun, alasan ini menyesatkan, karena penumpukan tersebut tidak hanya disebabkan oleh ketidakefisienan regulasi teknis, tetapi juga oleh ancaman yang ditimbulkan oleh barang-barang impor terhadap produk lokal. Mempercepat proses impor tidak seharusnya mengorbankan produk dalam negeri. Masih banyak alternatif untuk mengatasi masalah penumpukan kontainer tanpa harus mengorbankan industri lokal.

Di negara manapun, proteksionisme adalah hal yang umum dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri. Kebijakan proteksionis dapat menjadi alat penting bagi negara untuk melindungi industri dan pekerja lokal.

Uni Eropa, misalnya, menerapkan kebijakan proteksionis melalui Kebijakan Pertanian Bersama (CAP) yang memberikan dukungan kepada petani Eropa dalam menghadapi persaingan global. India juga melakukan berbagai langkah proteksionis untuk melindungi sektor pertanian dan manufaktur, seperti penerapan tarif tinggi pada produk impor dan program subsidi bagi petani lokal.

Malaysia menerapkan tarif dan kuota untuk melindungi sektor-sektor tertentu, terutama pertanian dan industri lokal. Contohnya, Malaysia memberlakukan tarif impor pada produk seperti gula dan beras untuk mendukung petani lokal.

China, sebagai salah satu negara importir terbesar, menerapkan kebijakan proteksionis untuk melindungi dan mengembangkan industri domestiknya. Negara ini seringkali menyatakan bahwa produk tertentu adalah penting untuk keamanan nasional dan memberlakukan pembatasan ketat pada impor barang-barang tersebut. Selain itu, strategi pemerintah China mencakup regulasi lingkungan dan kesehatan yang lebih ketat, yang seringkali lebih mudah dipenuhi oleh produsen lokal daripada oleh perusahaan asing.

Kebijakan proteksionis memang dapat menimbulkan ketegangan perdagangan internasional dan membatasi akses konsumen terhadap produk yang lebih murah. Namun, pengalaman negara-negara seperti Malaysia, Taiwan, Jepang, dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa proteksionisme yang tepat bisa berhasil melindungi industri dalam negeri.

Negara-negara tersebut tidak hanya menerapkan pembatasan impor tetapi juga mengimbanginya dengan strategi pengembangan industri dan inovasi, sehingga produk-produk lokalnya mampu bersaing baik di pasar domestik maupun internasional.

Indonesia, sayangnya, masih belum serius dalam menerapkan kebijakan perlindungan dan pengembangan industri lokal. Alih-alih melindungi atau meningkatkan daya saing produk dalam negeri, kebijakan justru condong mempermudah akses barang impor.

Akibatnya, para pelaku usaha dalam negeri mengalami kemerosotan, hingga banyak yang gulung tikar. Produk-produk lokal sering kali kalah bersaing dari segi harga, padahal seharusnya secara normatif, harga produk dalam negeri lebih rendah setelah mempertimbangkan biaya pengiriman dan pajak impor.

Banyak faktor menyebabkan harga barang buatan Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan produk impor sekelas. Salah satunya adalah biaya produksi dan distribusi yang tinggi.

Keterbatasan infrastruktur yang tidak memadai dan kurang terintegrasi antarwilayah Indonesia menyebabkan lonjakan biaya logistik. Letak geografis Indonesia yang jauh dari pasar internasional juga menambah hambatan. Selain itu, budaya korupsi yang membebani sektor produksi memperberat biaya operasional. Birokrasi yang berbelit-belit memperlambat produksi dan distribusi, sehingga semakin memperlemah daya saing produk lokal.

Di sisi lain, negara-negara pesaing berhasil menekan biaya produksi. Selain menggunakan produksi massal dan teknologi canggih yang presisi, mereka memiliki infrastruktur yang terintegrasi, budaya bisnis yang bebas dari korupsi, dan didukung berbagai insentif dari pemerintah. Faktor-faktor ini memungkinkan produk mereka dijual dengan harga yang lebih murah dan target produksi tercapai dengan baik.

Ironisnya, meskipun beberapa negara produsen memiliki upah buruh yang lebih tinggi dan biaya hidup yang lebih mahal, mereka tetap mampu menghasilkan harga produk yang lebih kompetitif dibandingkan Indonesia. Di Indonesia, meskipun tenaga kerja berupah rendah, tingginya biaya logistik, birokrasi yang rumit, serta praktik korupsi justru membuat biaya produksi semakin membengkak dan menghambat pertumbuhan industri dalam negeri.

Sritex, perusahaan tekstil raksasa yang terkenal dengan produk kain dan seragam militernya, hanyalah salah satu contoh korban dari persaingan ini. Sebagimana diketahui, PT Sri Rejeki Isman Tbk dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Oktober 2024.

Kejatuhan Sritex mengingatkan kita bahwa sektor tekstil Indonesia berada dalam krisis serius. Begitu pula dengan UMKM yang semakin tergerus oleh produk impor, khususnya di sektor tekstil, elektronik, dan kerajinan tangan.

Masuknya produk impor melalui e-commerce lintas batas memperburuk kondisi ini. Produk-produk asing dapat langsung dijual ke konsumen dengan harga sangat kompetitif, mengalahkan produk lokal yang terkendala berbagai hambatan biaya.

Melindungi Sektor Industri Sama Dengan Melindungi Pekerja

Sektor industri memiliki potensi besar untuk berkembang di Indonesia. Dengan populasi sebanyak 280 juta jiwa, Indonesia menjadi pasar potensial bagi berbagai kebutuhan masyarakat.

Namun, sayangnya, Indonesia seringkali hanya dijadikan pasar bagi negara-negara industri besar dunia. Padahal, di tengah 95 persen lebih masyarakat Indonesia yang membutuhkan lapangan pekerjaan, pengembangan industri nasional bisa menjadi solusi untuk menyerap tenaga kerja.

Agar Indonesia menjadi negara dengan ekonomi maju, kita tidak bisa hanya mengandalkan kekayaan sumber daya alam dan sekadar menjadikan penduduknya sebagai pekerja. Syarat utama menjadi negara berdaya saing adalah memiliki produk-produk buatan sendiri.

Sayangnya, Indonesia kurang memiliki komitmen dan pemahaman yang kuat akan pentingnya produksi barang dalam negeri. Walaupun sebagian produk memang sudah diproduksi oleh masyarakat Indonesia, jika tidak dilindungi, mereka akan tergantikan oleh barang-barang impor. Akibatnya, industri dalam negeri akan semakin melemah, seperti yang kita saksikan saat ini.

Pengembangan industri dalam negeri memiliki dampak signifikan terhadap pembukaan lapangan kerja. Lapangan pekerjaan tidak mungkin tersedia jika dunia industri tidak terbentuk dan tidak tumbuh dengan baik.

Industri padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja harus dijaga dan terus dikembangkan. Untuk mencapai hal ini, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah out of the box, bukan hanya kebijakan normatif, terutama di tengah era globalisasi dan digitalisasi.

Pemerintah di bawah Presiden Prabowo harus berani mencabut Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Bagaimanapun juga, pemerintah Indonesia yang baru harus berani pasang badan melindungi industri dalam negeri dengan mengendalikan atau membatasi masuknya barang-barang impor.

Ini menyangkut persoalan harapan hidup masyarakat Indonesia yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Ini mencegah para pekerja tidak terus berjatuhan menjadi korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).

Selain itu, hal itu dilakukan karena setiap tahun, Indonesia butuh 4 juta lapangan pekerjaan baru. Upaya ini juga bertujuan menjaga agar perekonomian terus bergerak di tengah masyarakat.

Jika kondisi ekstrem terjadi, misalnya Indonesia digugat di WTO atau diberi sanksi, itu mungkin masih lebih baik dibandingkan membiarkan industri dalam negeri terus melemah. Industri yang aktif dan berkembang akan membawa keuntungan bagi perekonomian nasional dan masyarakat Indonesia.

Ke depannya, produk-produk Indonesia perlu mengikuti tren pasar global. Teknologi dan alat produksi yang sudah usang harus segera diperbarui agar produk buatan Indonesia mampu bersaing di pasar internasional.

Jangan dibuat industriawan dan pedagang Indonesia disuruh bertanding melawan kapitalis internasional. Itu ibarat memaksa Elyas Pical bertarung melawan Mike Tyson. Sekali pukul langsung KO.***

Foto : Dok. Pribadi

Editor : Dul

(AAS)

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Istana Bogor Tempat Penerimaan PM Jepang oleh Presiden Prabowo

Bisnisnews.net || Presiden Prabowo Subianto akan menerima kunjungan Perdana...

Evaluasi Proyek Strategi Nasional, Anto Kusumayuda : Itu Bukti Presiden Prabowo Berpihak Kepada Rakyat 

Oleh : Anto KusumayudaBisnisnews.net || Presiden Prabowo Subianto berpihak...

Dedi-Erwan Resmi Ditetapkan jadi Gubernur dan Wagub Jabar Periode 2025-2030

Bisnisnews.net || KPU menetapkan pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan sebagai...

DPRD Kota Sukabumi Sampaikan Penetapan Walikota dan Wakil Walikota  Terpilih Ayep-Bobby di Rapat Paripurna

BISNISNEWS.NET || Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Sukabumi...